Minggu, 21 Januari 2018

Ke Mana Uang Iuran BPJS Saya Kalau Tidak Pernah Sakit

Ke Mana Uang Iuran BPJS Saya Kalau Tidak Pernah Sakit

Semula aku mengira ini keajaiban. Mata plus aku tiba-tiba nir mau kooperatif memakai kacamata berkualitas di optik tunggal baca aku. Layar kepada personal komputer tak terbaca terang. Akhirnya aku mencoba membaca tanpa kacamata berkualitas di optik tunggal, semua terang terbaca. Bahkan teks kepada ponsel yg biasanya buram bila dibaca tanpa kacamata berkualitas di optik tunggal, sekarang menjadi terang layaknya aku membaca sebelum mata aku plus.

Apakah ini berkah Ramadan? Itulah pikiran aku lantaran insiden tadi aku alami hari pertama masuk Bulan Ramadan. Saya merasa bahagia tentunya. Tapi kok usang kelamaan aku merasa muncul sesuatu yg lain memakai penglihatan aku. Pandangan aku buram kalau melihat jauh. Jika bangun tidur pula aku merasa merasa muncul yg tidak selaras memakai mata kepada sebelah kanan aku.

Ini sempurna muncul sesuatu.

Hari ke 7  Ramadan aku menyengajakan diri untuk mengusut mata ke optik kepada sebuah mall. Hasilnya bikin aku ketar-ketir. Mata kiri aku indah, tapi mata kanan aku muncul gangguan serta dianjurkan untuk segera pergi ke dokter.

Ke dokter mata? Hmm, aku menimbang-bimbang sementara waktu. Ya mungkin inilah saatnya memanfaatkan keanggotaan BPJS Kesehatan aku. Selama ini aku bayar iuran BPJS Kesehatan tapi nir pernah dipakai. Rugi dong aku.

Jadi Tahu Rasanya ke Puskesmas Lagi

Pada 14 Juni 2016 ini, akhirnya aku mengunjungi Puskesmas (Pusat Kesehatan Masyarakat) lagi. Entah telah berapa puluh tahun aku nir menginjak Puskesmas. Apalagi sejak aku menjadi karyawan sebuah perusahaan partikelir 12 tahun kemudian. Jila sakit, nir pernah terlintas periksa ke Puskesmas. Langsung ke tempat tinggal sakit partikelir maupun dokter famili, baik aku, isteri maupun anak. 

Semua biaya pengobatan tinggal klaim ke tempat kerja memakai mudah lantaran aku memiliki fasilitas biaya kesehatan hingga plafon tetentu selama setahun. Jila jumlah plafon terlewati, barulah kami harus membayar sendiri menurut dompet. Tapi jarang sekali kami hingga menembus plafon tahunan.

Pukul 07.30 aku tiba kepada Puskesmas Cipamokolan, Bandung. Itu pun sesudah aku tanyakan letaknya kepada satpam komplek. Suasana parkir masih sepi, jadi aku masih dapat menentukan tempat parkir memakai nyaman. Kemudian, hanya memakai membaca papan petunjuk, aku tiba kepada loket registrasi. Saya perhatikan situasinya. 

Pertama, aku ambil angka registrasi. Saya ditanya mau daftar umum atau BPJS? Setelah aku jawab BPJS sembari menyerahkan kartu BJPJS, kemudian aku diminta menunggu bareng puluhan pasien yg telah datang.

Sekitar 30 menit kemudian aku dipanggil,  ditanya lagi, BPJS yg bayar atau perdeo? Saya jawab bayar. Lalu aku diminta  mengisi formulir. Tepatnya sih sekadar mengisi nama serta tanda tangan. Karena isian lainnya akan diisi petugas. Kartu BPJS aku telah ditandai kepada ujung kanannya. Entah apa, lantaran tak terang.

Saya kemudian menuju ruang tunggu tak jauh menurut pintu masuk. Saya mendapat angka 15 jadi aku pikir nir akan menyita waktu usang menunggu.  Sambil menunggu angka panggilan, aku bertanya kepada  perempuan 1/2 baya kepada sebelah aku. 

"Bu, pakai umum atau BPJS?" tanya aku.

"BPJS," jawab si Ibu.

"Sama atuh. Iuran yg berapa?" tanya aku lagi.

"Ibu mah dikasih sama kelurahan kartu BPJS-nya," jawab Ibu itu.

Saya tersenyum lantaran si Ibu mulai dipanggil ke ruang dokter.

Di perusahaan tempat kerja aku, semua karyawan disarankan ikut BPJS Kesehatan sejak 2014. Beberapa karyawan tertentu mendaftar secara pribadi. Saya sendiri belum tertarik lantaran masih mendengar liputan simpang-siur buruknya layanan BPJS Kesehatan kepada media Internet maupun cerita tertentu menurut teman-teman kepada tempat kerja. Karena belum semuanya mendaftar, pihak tempat kerja akhirnya melakukan registrasi secara kolektif. Maka kepada bulan Februari 2015 aku resmi menjadi pemilik kartu BPJS Kesehatan, termasuk isteri serta putra aku. Semua prosedur registrasi serta pembayaran iuran BPJS Kesehatan diatur sang tempat kerja. 

Sosialisasi BPJS Kesehatan banyak aku dapat menurut atasan aku. Sebagai peserta BPJS Kesehatan awal, Beliau punya cerita menyentuh bagaimana beliau harus pontang-panting mencari biaya pengobatan untuk cangkok ginjal suaminya. Tapi sejak muncul BPJS, hampir tak sepeser pun uang yg  dikeluarkan untuk biaya pengobatan suaminya.

Jujur saja, lebih menurut setahun memiliki kartu BPJS Kesehatan, kami sekeluarga belum pernah memanfaatkannya. Kebetulan aku masih dapat plafon kesehatan kepada tempat kerja walaupun jumlahnya tak sebanyak dulu. Rasa malas ke faskes utama mirip Puskesmas, ditambah cerita antrean panjang serta datang subuh ke tempat tinggal sakit acum untuk pengguna BPJS Kesehatan, adalah alasan untuk pergi ke dokter tanpa kartu BPJS Kesehatan. 

Dari output laporan BPJS Kesehatan pun aku mendengar uang kesehatan yg dikeluarkan BPJS kepada lingkungan tempat kerja per tahun ternyata lebih mini ketimbang biaya kesehatan yg biasanya  harus dikeluarkan tempat kerja per tahun sebelumnya. Sementara iuran BPJS Kesehatan yg dikeluarkan masih lebih besar ketimbang biaya kesehatan karyawan. Sekilas tempat kerja jadi rugi. Penyebab rendahnya dana yg dikeluarkan BPJS Kesehatan untuk karyawan  dapat jadi karyawan enggan memakai fasilitas BPJS Kesehatan lantaran takut ribeut, jadi kalau nggak sakit parah ya ditahan saja atau pakai obat warung. Kalau pun mau berobat, biasanya non BPJS Kesehatan.

Seiring waktu berlalu, serta pelayanan kepada beberapa tempat tinggal  sakit kepada Bandung makin membaik terhadap peserta BPJS Kesehatan, karyawan kepada tempat kerja semakin banyak yg memanfaatkan fasilitas  tadi. Termasuk aku. Karena aku cuman berpikir, jikalau aku terus membayar iuran tanpa pernah memakai fasilitas yg disediakan kok merasa rugi ya.

 "Pak Benny!"

Saya berkecimpung menurut duduk serta tertentu menuju ruang periksa. Dokter yg aku temui perempuan bernama dr. Budhi. BM. Saya pun tertentu menceritakan problem aku. Lalu aku menyatakan asa aku," Kalo dapat dirujuk ke Rumas Sakit Mata Cicendo, Dok."

"Mulai beberapa waktu kemudian telah nir dapat lagi mirip itu. Dari faskes satu harus dirujuk ke tempat tinggal sakit wilayah dulu. Nanti kalo tempat tinggal sakit wilayah merasa perlu dirujuk ke RS Cicendo, mereka yg akan merujuk. Bukan menurut faskes pertama," terang Bu Dokter.

Saya pun diberikan beberapa pilihan acum. Saya menentukan ke Rumah Sakit Al Islam lantaran nisbi dekat tempat tinggal. Saya pun diberi surat acum sang Bu Dokter. Surat itu kemudian aku bawa balik  ke ruang registrasi untuk mendapat cap.

Pukul 09.30 aku meninggalkan Puskesmas Cipamokolan serta bergegas ke tempat kerja. Saya harus bilang sejujurnya, layanan kepada puskesmas yg aku rasakan  hari ini cukup baik. Di bagian registrasi maupun investigasi sang dokter, sekitar sedikit mirip kalau ke tempat tinggal sakit lewat jalur non-BPJS. Fasilitas ruang tunggu pula cukup nyaman, toilet terjaga kebersihannya, parkir cukup. Hilang semua kekhawatiran aku mengenai bayangan puskesmas menjadi faskes utama BPJS.

Tinggal tunggu besok kepada RS Al Islam Bandung. Saya akan buat catatan terpisah nanti.

Bayar Gotong Royong

Sampai tempat kerja aku masih memiliki PR kepada ketua, kemanakah uang iuran yg kita bayarkan jikalau nir terpakai?

Akhirnya aku browsing serta menemukan postingan ini kepada Facebook.

Postingan ini melukiskan citra penderita gagal ginjal. Untuk cuci darah sebulan beliau harus mengeluarkan Rp10 juta. Tapi memakai iuran BPJS Rp180.000 (kelas 1 untuk bertiga), mereka tak perlu mengeluarkan uang apa-apa lagi. Dari mana BPJS menalangi kekuarangannya?  Ya menurut perputaran uang anggota BPJS Kesehatan lain yg nir terpakai.

Begini klarifikasi lengkapnya:

Dari uraian kepada atas terang bahwa untuk menutupi biaya cuci darah sebulan saja diperlukan 168 orang yg membayar uang bulanan BPJS Kesehatan sebanyak  Rp.59.500. Dan itu hanya dapat ditutupi menurut iuran peserta lain yg nir terpakai. Inilah yg dimaksud memakai prinsip 'Gotong Royong'. 

Peserta BPJS mirip aku yg belum memakai dana BPJS Kesehatan atau yg nir pernah sakit, usah merasa iuran itu akan sia-sia. Karena iuran itu dapat jadi dipergunakan unuk menutupi biaya pengobatan rekan kerja kita, kerabat, saudara, atau bahkan diri kita sendiri kepada masa datang. Kita nir pernah memahami kan  jikalau kita akan sakit serta membutuhkan dana besar. Mungkin, mirip sakit mata aku kali ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Back to Top