Selasa, 05 Desember 2017

Budiman Sudjatmiko, Si Aktivis Rapi yg Memilih Perjuangan Politik

Budiman Sudjatmiko, Si
Budiman Sudjatmiko, Si Aktivis Rapi yang Memilih Perjuangan Politik

Keterlibatan saya sebagai seorang aktivis merupakan konsekuensi logis dari pencarian akan makna kehidupan pribadi & sosial saya sebagai seorang anak muda. Budiman Sudjatmiko

[caption id="attachment_314211" align="aligncenter" width="496" caption="Budiman Sudjatmiko dalam suatu mimbar bebas saat masih aktiv dalam PRD (sumber:www.depokinteraktif.com))"][/caption]

Seorang anak muda berkacamata menunjukkan orasi dalam tengah-tengah massa yang mendukung Megawati Soekarno Putri sebagai Ketua Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Suaranya menggelegar membakar emosi massa. Rambutnya dalam potong rapi. Di badannya menempel kameja berwarna putih lengang pendek persis seperti anak kuliahan semester satu dengan ujung bawah baju didalam celana. Kontras dengan kebanyakan massa aksi. Buktikan organisasi kami komunis, sergahnya suatu ketika dalam bulan Juli 1996. Siapa lagi kalau bukan Budiman Sudjatmiko. Namanya semakin melambung setelah insiden berdarah, 27 Juli 1996 dalam Jl Diponegoro, Jakarta Pusat. Peristiwa getir yang memilukan. Sekaligus menjadi keliru satu pemantik lagu perlawanan rakyat.

Budiman Sudjatmiko lahir dari famili kelas menengah dalam Majenang, Cilacap, Jawa Tengah dalam tanggal 10 Maret 1970. Ia menghabiskan masa kecilnya dalam wilayah perbukitan yang menjadi arus lalu lintas yang menghubungkan Jawa & Sunda (khususnya priangan timur) itu. Di sanalah ia mengalami insiden-insiden penting yang kemudian membawanya memilih jalan hidupnya sebagai aktivis politik. Ia merasakan betapa getirnya kehidupan rakyat. Kematian Mbah Dimin menjadi pertemuan pertamaku dengan fenomena hidup yang berjelaga seperti pantat panci: kemiskinan, utang, bunuh diri & kematian ungkapnya dalam memoar (Anak-Anak Revolusi) yang ditulisnya tahun 2013. Peristiwa itu poly menghentak akal Budiman remaja waktu itu.

Budiman tumbuh dalam tiga kota sekaligus, Majenang (Cilacap), Bogor & Yogyakarta. Keluarganya menanamkan nilai-nilai religiusitas, nasionalisme & kepedulian (pemihakan dalam kemanusiaan). Nilai-nilai yang kemudian hari poly mensugesti cara pandang & pilihan politiknya. Nilai-nilai itulah yang mengantarnya terlibat dalam arus massa rakyat yang id perjuangkan. Di usianya yang belasan tahun, ia sudah terlibat dalam pengorganisasian rakyat.

***

Kegetiran telah membuatnya menyatu dengan rakyat. Kehidupannya dipenuhi sang perlawanan. Dan penjara ialah risiko atas pilihan usaha politiknya menentang rezim despotik, Seoharto. Saat poly anak muda memilih kehidupan nyaman, ia malah masuk ke zona ekstrim. Itulah barangkali mengapa Budiman kurang romantis. Pernah suatu pagi dalam Bulaksumur Universitas Gadjah Mada (UGM), Budiman yang jauh-jauh datang dari Jakarta, hendak melepas embarkasi seorang mahasiswi Fakultas Sastra yang akan menjalani Kuliah Kerja Nyata (KKN). Di genggamannya telah siap bingkisan kaset lagu-lagu klasik yang sering didiskusikan beserta si gadis. Rencananya, kaset itu bakal jadi tambatan kenangan selama mereka berpisah. Tapi Budiman tak jadi menunjukkan bingkisan itu, karena dilihatnya dari jauh, si gadis tengah berbincang dengan cowok lain tutur Bimo Nugroho, mitra Budiman dalam Fakultas Ekonomi UGM dalam Suara Independen tahun 1997.

Sebagai aktivis, penampilan Budiman berbeda dengan biasanya aktivis yang kita bayangkan seperti rambut gondrong, sandal jepit & kaos-an. Di beberapa foto yang saya lihat baik dalam buku Budiman Sudjatmiko Menolak Tunduk: Catatan Anak Muda Menentang Tirani yang ditulis sang F.X. Rudy Gunawan (1999) juga buku Peristiwa 27 Juli yang diterbitkan sang Institut Studi Arus Informasi (ISAI) & Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dalam tahun 1997, cara berpakaian Budiman memang rapi. Dan karena cara & pilihan berpakaian itu tak jarang Budiman menjadi terdakwa.

Soal berpakaian rapi itu, berikut pengakuan Budiman Sudjatmiko yang saya kutip dari emailnya dalam lembaga pembaca kompas tahun 2008 yang lalu saat beberapa aktivis mencalonkan diri menjadi anggota legislatif yang ketika itu menjadi diskursus:

Soal saya berpakaian necis & rapi? Sekali lagi: saya senang tampil rapi (mungkin itu sisa-sisa narsisme yang ada dalam diri saya ha...ha...ha...just kidding), karena saya ialah orang yang senang membongkar takhayul bahwa aktivis itu pasti gondrong, berjaket kulit & dengan geraham mengeras, 'mengawal prinsip-prinsip usaha'. Bagi saya seorang aktivis jalanan juga bisa tampil rapi, boleh berapi-api dalam podium dalam hadapan massa aksi atau lembaga debat, disemprot gas air mata & bisa berkelahi bersenjatakan tongkat melawan polisi anti huru-hara...tapi masih permanen bisa tersenyum ramah dalam keseharian.

Saat Budiman membacakan deklarasi Partai Rakyat Demokratik (PRD) dalam tanggal 22 Juli 1996 dalam kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Jakarta ia tampil dengan kemeja putih lengan panjang. Di wajahnya dengan setiap ditemani sang kacamata berkualitas di optik tunggal minus berbingkai hitam. kacamata berkualitas di optik tunggal yang kemudian menjadi pecah karena jatuh terinjak massa saat kerusuhan 27 Juli meletus. Penampilannya yang rapi tidak mengurangi kebencian rezim Soeharto kepadanya. Aparatus negara dalam kerahkan untuk memburu anak muda berpakaian rapi itu. Ia akhirnya ditangkap dalam Bekasi dengan beberapa pimpinan PRD dalam tanggal 11 Agustus 1996.

Dalam setiap orasinya dalam poly sekali mimbar bebas, kerap ia dengan kameja entah berlengan pendek atau pun panjang. Dengan gayanya yang khas itu ia mengagitasi massa aksi. Pakaiannya yang rapi tidak mengurangi kewibawaannya sebagai pemuda radikal. Ia permanen percaya diri dalam kerapihan & aktivismenya.

Dalam tulisannya dalam Suara Independen (1997), Bimo Nugroho berkata bahwa kawannya (baca: Budiman) memakai kacamata berkualitas di optik tunggal yang up to date, rambutnya dalam potong bak model new kids on the block. Memang waktu itu kacamatanya pecah saat ia jatuh dikejar-kejar aparat yang mengobrak-abrik tenda aksi keprihatinan Komite Pembelaan Mahasiswa (KPM) dalam Boulevaard UGM. Dan dalam dalam tasnya selalu tersimpan krim pengkilat rambut, serta kemeja putih & celana hitam untuk ganti. Ia memang lain, bahkan dalam antara aktivis demonstran waktu itu yang lazim berambut gondrong. Papar Nugroho.

Tidak ada yang keliru dengan gaya berpakaian rapi Budiman. Justru ia ingin memperlihatkan bahwa aktivis itu tidak melulu kumal, gondrong & kaos-an. Menjadi aktivis itu bisa juga rapi. Dan kerapian tidak sama sekali mengurangi bobot gagasan perlawanannya. Kerapian tidak mereduksi nalarnya yang revolusioner. Bahwa berpakain dengan baju setrika & celana kain hanyalah pilihan berpakaian, tidak lebih dari itu. Bukan pula untuk tampil sombong.

Kerapian tentu berbeda dengan hura-hura. Dan Budiman Sudjatmiko bukanlah sosok yang hedon sebagaimana dituduhkan para pengkritiknya. Buktinya ia masih dengan moda transportasi kereta api acap kali melakukan perjalan dalam Jawa. Kecuali memang mendadak yang mengharuskan ia naik pesawat. Saya bahagia naik kereta api ceritanya suatu waktu saat ceramah dalam hadapan peserta Rapat Kerja Nasional Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) dalam Kalasan, Sleman, Yogyakarta. Organisasi pertama yang ia kenal & mengantarnya dengan belantara gerombolan diskusi diawal kedatangannya ke Yogyakarta tahun 80-an sebagaimana diakuinya dalam memoar Anak-Anak Revolusi.

Saya kira kerapihan merupakan pelajaran penting yang bisa dipetik dari sosok mantan Ketua PRD ini. Kerapihan tidak identik dengan busana mahal. Yang terpenting dari itu ialah wajar & normal. Artinya bisa menempatkan dalam porsinya, dimana wajib berpakaian apa. Sebagai politisi, kehidupan Budiman Sudjatmiko saya kira patut jadi pelajaran bagi anak muda negeri ini. Budiman bukanlah sosok politisi yang getol dengan materi. Meskin pun juga ia tidak menyangkal bahwa dalam usaha materi tetaplah penting, hanya saja porsinya sebagai penunjang usaha saja. Materi hanya berguna sejauh ia bisa menopang & menunjang sesuatu yang immaterial dalam hidup. Sesuatu yang immaterial itu ialah nilai-nilai kebajikan (virtue) yang dalam perjuangkan. Idealisme yang perlu diwujudkan dalam kehidupan kemasyarakatan.

Dalam surat elektroniknya dalam lembaga pembaca kompas pendiri Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) ini mengutarakan ukuran-ukuran kesuksesan hidupnya, yaitu: (1) bisa bersekolah dalam unversitas yang rupawan (alhamdulillah pernah merasakan), (2) memproduksi tulisan yang mensugesti orang poly (alhamdulillah, meski masih dalam bentuk artikel-artikel dalam koran & majalah. Buku akan keluar dalam tahun ini. Moga-moga), (3) memiliki otoritas politik untuk mensugesti perbaikan hidup orang poly secara lebih efektif (moga-moga terlaksana kalau terpilih jadi anggota DPR), & (4) bisa mendidik & menyiapkan pendidikan yang rupawan untuk anak saya, lewat beasiswa.

Sebagai perbandingan yang patut dicatat bagaimana pemimpin politik dalam beberapa Negara juga memilih berpakaian rapi dalam setiap aktivitasnya. Adalah Aung San Suu Kyi, pemimpin prodemokrasi dari Myanmar yang juga kerap kali tampil dengan busana rapi dalam depan public. Bahkan ketika memimpin protes terhadap junta militer pun, perempuan peraih hadiah nobel dalam tahun 1991 ini permanen dengan busana rapi.

Pemimpin politik Afrika Selatan & revolusioner anti-apartheid, Nelson Mandela juga memiliki gaya berpakaian rapi nan khas. Ia menyukai batik. Seperti halnya Budiman, Mandela juga pernah merasakan hidup dalam penjara Victor Verster. Hidupnya disesaki dengan terror, intimidasi & penindasan. Puncak risiko atas pilihan aktivismenya tatkala ia dalam penjara. Ia mendekam dalam tahanan rezim rasialis, aparheid dari tahun 1962 & dalam bebaskan dalam tahun 1990. Mandela kerapkali memakai pakai-busana berkualitas tinggi, membuahkan dirinya bergaya kerajaan. Ia memang bangsawan dalam tanah Afrika. Meski pun begitu, ia leburkan kelasnya. Ia beserta-sama rakyatnya berjuang menentang rasialisme.

Kontras dengan 2 pemimpin politik diatas, Presiden Uruguay, Jose Mujica memiliki cara berpenampilan yang berbeda. Ia kerapkali dengan sandal dalam beberapa kesempatan acara resmi kenegaraan. Meski demikian bekas anggota pemberontak Tupamaros, gerombolan bersenjata berhaluan kiri yang terinspirasi revolusi Kuba ini selalu dengan kameja lengan panjang kesukaannya & celan kain yang tergantung. Persis seperti kebanyakan aktivis Islam yang mencoba mempraktekkan Isbal. Yaitu berpakaian dengan ujung bawah busana tidak menutupi tumit. Mujica bukanlah seorang Islam revivalis. Pilihan berpakaiannya dilakukan karena ia nyaman dengan gaya tersebut.

Insight yang bisa kita peroleh ialah pilihan cara berpakaian ialah soal kebebasan. Soal kecocokan & prinsip-prinsip hidup yang dianggap penting. Artinya berpakaian ialah keliru satu cara mengekspresikan diri. Meski dalam era kolonial, berpakaian tak jarang merefleksikan perbedaan kelas. Tetapi dalam konteks saat ini, pilihan berpakain jauh lebih sederhana. Artinya pemilihan gaya berpakaian tidak lagi mengacu kepada identitas yang menciptakan segregasi antara apa yang diklaim Pribumi & Eropa sebagaimana dalam kategori masa kolonial. Jadi berpakaian yang rapi itu soal pilihan kebebasan masing-masing individu. Tidak ada yang keliru dalam cara berpakaian itu. Sang revolusioner sejati, Muhammad ialah contoh bagaimana kebersihan & kerapihan berpakaian dalam praktekkan. Ia senantiasa menjaga caranya berpakaian. Termasuk rambutnya yang berdasarkan sejumlah sumber, panjang menyentuh bahu.

***

Perjuangan politik ialah pilihan hidupnya. Perjumpaannya dengan fenomena poly rakyat hidup dalam kepapaan, ketidak berdayaan & kegetiran membulatkan tekadnya untuk memperjuangkan kehidupan rakyat dari jalur politik. Maka dalam usia yang masih sangat belia, ia sudah berjumpa dengan bacaan-bacaan berat yang dalam ukuran kini baru diperoleh saat kuliah dalam perguruan tinggi. Bacaan yang saya maksud ialah buku kompilasi tulisan Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi. Sesuatu yang tentu luar biasa dalam ukuran waktu itu.

Bakat politiknya sudah terasah sejak masih belia. Bacaannya yang luas kemudian mensugesti cara pandangnya dari kebayakan aktivis politik. Ia lalu sekolah ke Yogyakarta. Dalam fase inilah kehausan intelektualnya memperoleh ruang. Saat sekolah dalam SMA Muhammadiyah itulah ia berjumpa dengan senior-seniornya dalam IPM yang mengenalkan Budiman remaja dengan belantara filsafat & music klasik. Sejumlah filusuf dalam kenalkan seniornya seperti Nietzsche, Albert Camus, Sartre, Marx, Einstein, Feynman & lain sebagainya. Budiman terposona dengan dunia barunya itu.

Budiman paham benar bahwa menjadi aktivis politik revolusioner wajib memiliki empat syarat: sains, filsafat, teater & musik klasik. Begitu seniornya menceramahinya disuatu waktu. Perkenalannya dengan gagasan-gagasan filsafat membuatnya senantiasa gelisah. Ada poly pertanyaan-pertanyaan berkecamuk dalam alam pikirannya. Pikiran-pikiran yang memprotes keadaan. Pikiran yang mempertanyakan sejumlah hal yang mengganggu akal sehatnya terhadap praktek politik & kenegaraan dalam negerinya. Maka ketika ia kuliah dalam kampus biru, UGM ia sudah mendedikasikan kehidupannya dalam rakyat dengan terlibat dalam pengorganisasian buruh & petani dalam beberapa wilayah dalam Jawa.

Ia merogoh risiko. Meninggalkan kehidupannya sebagai mahasiswa dalam fakultas ekonomi UGM. Sebuah fakultas dimana mahasiswanya diajarkan bagaimana mengelola perusahaan supaya untung. Menyiapkan strategi usaha supaya perusahaan memenangi persaingan usaha. Mengatur arus lalu lintas uang supaya efektif & perusahaan tidak rugi. Ya sebuah perguruan tinggi yang sesial-sialnya alumni paling rendah jadi manager keuangan dalam poly sekali perusahaan. Ia sudah lingkaran. Pilihannya sudah ditambatkan dalam usaha politik. Maka menginjak tahun keduanya dalam kampus ndeso itu ia menyatakan cerai dengan dunia kampus.

Dan pilihannya untuk meninggalkan almamater itu berimplikasi kepada poly hal. Termasuk wajib rela tidak lagi mendapat kiriman dari orang tua. Beruntun ia masih diakui sebagai bagian dari keluarganya. Ia terlibat permasalahan yang relatif genting dengan Ayahnya. Ayahnya tidak senang dengan aktivitas politik Budiman. Dalam pengakuannya kepada FX Rudy Gunawan dalam buku Budiman Sudjatmiko Menolak Tunduk:Catatan Anak Muda Menentang Tirani ia bilang:

Meninggalkan bangku kuliah memang mengecewakan bagi ke 2 orang tua saya sampai-sampai saking kecewanya mereka kemudian menetapkan untuk tidak mengirimkan saya uang lagi. Tapi dunia aktivis ialah jawaban yang telah saya temukan dalam pencarian makna kehidupan saya. Jadi, resiko apa pun memang wajib saya hadapi, kan?

Puncak risiko aktivitas politiknya tatkala Budiman Sudjatmiko mendeklarasikan PRD yang menuntut pemerintahan demokratis. Sesuatu yang tidak mungkin saat kekuasaan Soeharto sedang berada dalam puncak kematangannya. Ia lali dalam tangkap sebagai tahanan politik dengan dakwaan yang relatif mencengankan. Ia divonis tiga belas tahun penjara sang rezim Soeharto. Meski sudah pernah dibui & merasakan getirnya hidup dipenjara ia tidak kapok berpolitik. Saat musim semi berganti, ia dibebaskan dibebaskan sang pemerintahan Gus Dur. Ia menepi sejenak ke Inggris. Ia belajar korelasi internasional dalam Universitas Camdridge & ilmu politik dalam Universitas London sembari merenungkan Indonesia yang ia cintai dari negerinya Ratu Elizabet itu.

Suatu ketika dalam bulan april 2007, ia diundang menghadiri diskusi tentang kepemimpinan sang IPM dalam Sleman, Yogyakarta. Di lembaga itu ia memaparkan makalah tentang idealisme yang dipertahankan & idealisme yang diwujudkan. Salah satu yang menarik dari uraian Budiman yaitu keyakinannya mengenai pentingnya konsolidasi gagasan lebih awal ketimbang konsolidasi politik. Oleh karenanya alumni Universitas Camdrige ini merekomendasikan pentingnya kantong-kantong diskusi untuk menciptakan ikatan ideologis. Maka ketika bergabung dengan PDI-P dalam tahun 2004 yang lalu ia tidak sendirian. Ia beserta dengan gerombolan diskusinya (Relawan Pejuang Demokrasi) melebur beserta dengan partai pimpinan Megawati itu. Ia begitu yakin dengan kekuatan gagasan. Dan ia sadar benar bahwa dalam konteks konteks Indonesia hari ini, kehadiran institusi partai politik yang bertenaga ialah keniscayaan sejarah.

Dalam konteks politik Indonesia, ia begitu menyadari pentingnya pemimpin politik yang transformatif. Yaitu pemimpin yang secara politik, kultural, spirit & gaya bisa memberi inspirasi rakyat untuk melakukan sesuatu. Pemimpin yang amanah, aspiratif & berani memberi arah bagi bangsanya. Syaratnya sederhana saja. Sebagaimana dalam awal-awal kebangkitan, hampir seluruh pemimpin kebangkitan nasional hidup beserta rakyat, sangat dekat dengan kehidupan keseharian rakyat, sehingga bahasa rakyat hampir tak berjarak dengannya. Pesan sosial rakyat bisa diterima dengan sangat baik sang mereka. Jelasnya dalam sebuah artikel dalam harian kompas (21/05/08). Lebih jauh ia menguraikan bahwa kepemimpinan politik dalam demokrasi yang sehat wajib bertumpang tindih dengan kerja-kerja perubahan dalam akar rumput. Begitu juga perubahan-perubahan yang terjadi dalam akar rumput wajib berujung dalam perubahan kepemimpinan politik untuk menjamin keberlangsungan & keluasan dampaknya (kompas, 11/08/2012).

Kehadiran Budiman dalam kencah politik Indonesia masa kini mengingatkan saya dengan para aktivis politik yang berjuang dalam garda terdepan dalam menghadirkan republic ini. Para aktivis politik era itu menunjukkan poly sekali gagasan-gagasan mencerahkan. Politisi yang berani melakukan perdebatan mengenai nilai-nilai yang diyakini membawa manfaat bagi publik. Kita tentu ingat benar bagaimana debat-debat cerdas nan sengit antara para tokoh pergerakan Indonesia seperti yang tergambar dalam perdebatan antara Bung Karno, Bung Hatta, Syahrir, Tan Malaka atau pun Amir Syarifuddin.

Ruang-ruang publik seperti surat kabar ialah arena yang paling poly bagi adu gagasan tokoh-tokoh itu. Bahkan tidak relatif berhenti dalam surat kabar. Para penggerak republik itu juga menulis buku. Mereka memperbincakan poly sekali gagasan-gagasan tentang pembangunan demokrasi, ekonomi & politik. Perdebatannya jauh dari menyerang orang perorang seperti kita sering tonton dalam sebuah stasiun TV partikelir. Mereka berdebat secara ikhlas untuk sebuah Republik Indonesia yang dicintainya. Berdiskusi dengan penuh kedalaman makna & dilandasi sang kejujuran atau meminjam istilahnya Habermas yaitu diskursif yang argumentatif. Artinya tidak ada yang dominan & memaksakan kehendak. Semuanya berproses melalui diskursus dalam ruang pubik yang bebas.

Artikel-artikel Budiman Sudjatmiko yang terbit dalam koran-koran nasional ialah kecamuk & pergolakan pikirannya terhadap suatu masalah yang ia alami baik ia sebagai anggota DPR atau sebagai aktivis politik. Kehadiran tokoh politik muda sepertinya & beberapa yang lain contohnya Indra J. Piliang, Bima Arya Sugiarto & Anis Baswedan semakin menunjukkan keyakinan kepada kita seluruh soal masa depan Indonesia yang cerah. Kehadiran anak-anak muda itu menjadi penanda bahwa regenerasi politik Nasional tidak melulu memproduksi politisi rabun ayam, meminjam istilahnya Syafii Maarif. Mereka juga bisa berdebat dengan kekayaan gagasan & praktek-praktek pelayanan terbaik bagi rakyatnya.

Di balik segala kekurangannya, Budiman ialah seorang pembelajar yang baik. Ia ialah politisi intelektual yang dilahirkan sang generasinya. Ketertarikannya dalam filsafat membawa Budiman memiliki kedalaman epistemik dalam pandangan-pandangan politiknya. Dan tentu amat kaya dengan nuansa akademik. Ia ialah keliru satu perumus manifesto politik Partai Rakyat Demokratik (PRD) dalam tahun 1996 silang. Gagasan penting dalam manifesto itu ialah pentingnya sebuah rezim demokratik yang menunjukkan kebebasan bagi tumbuhnya partai politik untuk memperjuangkan pluralitas kepentingan rakyat. Ia menuntut pemenuhan hak-hak rakyat untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik yang demokratik.

Rezim Soeharto amat sangat gegabah ketika menvonis Budiman Sudjatmiko sebagai komunis. Ia memang terpengaruh dengan gagasan-gagasan sosialisme. Tetapi sosialisme kan tidak lalu menjadi komunis. Dan sosialisme dalam prakteknya juga tidak tunggal. Maka ketika ia ditanya siapa tokoh yang ia kaguminya? Di beberapa kesempatan eks mahasiswa fakultas ekonomi UGM itu sering berkata Seokarno. Si bung itulah yang poly mensugesti dalam kiprah politiknya. Pandangan-pandangannya tentang nasionalisme & ke Indonesiaan. Pilihannya berlabuh ke PDI-P juga tidak bisa dilepaskan dari pilihan-pilihan partai yang tersedia yang mengusung gagasan-gagasan Bung Karno itu. Secara politik pandangannya cenderung kepada gagasan sosial demokrat (Sosdem).

Dalam sebuah wawancara dalam media online, Budiman ditanya apakah anda seorang yang kiri? Ia menunjukkan kecenderungan politiknya kepada central left atau sosdem. Dalam ekonomi peran partikelir dalam afirmasi namun Negara bisa melakukan intervensi untuk menjaga supaya distribusi keadilan terjadi. Jadi Negara punya peran namun bukan untuk menyamaratakan, namun mengurangi gap. Dan rakyat bawah bisa mendapat pelayanan & program sosial dari akibat pajak mereka yang berpendapatan sangat tinggi. Ia lalu mencontohkan Jerman & Brazil sebagai tipe ideal Negara dengan haluan social democrat. Mereka memilih mekanisme demokrasi & hak asasi insan dalam poly praktek kenegaraannya.

Oleh karenanya dari holistik kiprah politik Budiman Sudjatmiko relatif beralasan bila sosok politisi muda ini diklaim sebagai sosok intelektual organik. Istilah yang diperkenalkan sang Antonio Gramschi pemikir kiri karena garis pemikiran Marxian yang khas dalam tulisan-tulisannya untuk memberi gambaran sosok yang bisa melakukan exersice terhadap hal yang abstrak & kemudian membawanya dalam praktek kehidupan social. Sekaligus dalam saat yang sama bisa mengabstaksi praktek-praktek sosial kemasyarakatan menjadi sesuatu yang memiliki nilai filosofis. Gramsci mencoba memadukan intelektual, hegemoni, & pemahaman filosofis akan dunia sosial politik serta proses sejarah dalam kerangka awam memetakan, mengkritisi, mendobrak & merevolusi kekuasaan.

Disinilah kelebihan sosok Budiman Sudjatmiko yang kerapkali membedakan ia dengan poly politisi dalam Negeri ini. Ketika poly politisi memasang alat peraga sebagai cermin pemihakannya apada rakyat marginal: buruh & petani. Budiman telah mempraktekkannya. Ia tidak perlu memasang spanduk atau baliho. Tetapi dalam kehidupan politiknya, ia terlibat mengorganisir massa rakyat dalam perjuangannya menaikkan kesadaran kritis rakyat terhadap hal-hak social, ekonomi & politik. Di Cipari, Cilacap ia keluar masuk hutan untuk meyakinkan petani karet & buruh perkebunan tentang hak-hak mereka yang terenggut.

Saat terpilih jadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ia memilih dalam komisi pemerintahan dalam negeri. Komisi yang tentu jauh dari terminology komisi basah seperti halnya komisi infrastruktur, keuangan atau BUMUN. Lewat hak politik yang menempel kepada anggota dewan yaitu legislasi, budgeting & pengawasan ia lalu mengartikulasikan hak-hak istimewa itu untuk mewujudkan impian-impian rakyat. Salah satu yang bisa dalam sebut sebagai bagian dari kiprah legislasinya tanpa bermaksud mengabaikan anggota DPR lainnya yaitu keberhasilannya mengartikulasikan kepentingan otonomi desa menjadi undang-undang. Ia poly turun ke wilayah-wilayah menyerap aspirasi. Keluar masuk desa bertemu dengan pemangku kepentingan sampai kemudian lahir perundangan yang sudah relatif lama diperjuangkan sang poly aktivis yang concern dengan berita-berita agrarian & pedesaan.

Pada akhirnya pilihan-pilihan usaha yang dilakukan sang si aktivis rapi ini tidak hanya berhenti dalam sesuatu yang jangka pendek. Artinya ia tidak hanya mementingkan capaian-capaian pribadinya. Tetapi usaha politik yang dilakukannya dalam dedikasikan kepada bunda pertiwi yang senantiasa merindukan kiprah politik anak-anaknya. Ibu pertiwi rindu dengan aktivis politik yang bisa membahasakan kehendak-kehendak rakyat. Dan dalam akhirnya politik ialah keliru satu jalan yang diyakini sang Budiman Sudjatmiko sebagai proses perwujudan kemuliaan. Perwujudan nilai-nilai kebajikan (virtue) yang universal.

Selayar, menjelang malam; 06/1/13

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Back to Top