Selasa, 23 Januari 2018

Kenaikan 30 Persen, Kelas Menengah Jadi Tumbal

Kenaikan 30 Persen, Kelas Menengah Jadi Tumbal

KOMPAS.com - Selama kuartal I tahun ini, kinerja penjualan properti pada Indonesia menjadi sorotan pada loka Asia Pasifik. Penjualan properti pada Nusantara itu melaju kencang ketika penjualan properti pada Asia Pasifik terseok-seok implikasi ketidakpastian ekonomi mayapada.

Hasil riset konsultan properti Knight Frank pada Juni kemudian mengungkapkan, kinerja properti Indonesia kuartal I terkuat pada Asia Pasifik. Pertumbuhannya bahkan meninggalkan Malaysia, India, China, Selandia Baru, Korea Selatan, bahkan Australia.

Riset Knight Frank itu pula menjelaskan, Indonesia sanggup tumbuh ketika ekonomi mayapada menghantam sektor properti pada beberapa negara Asia Pasifik. Bahkan, konsultan properti asal Inggris itu yakin, penjualan properti pada Indonesia tetap berkibar double digit tahun ini, walaupun krisis mayapada mengancam.

"Properti pada Indonesia akan mengalami kenaikan harga implikasi kenaikan pendapatan, ekonomi yg bertenaga dan tingginya urbanisasi," kata Nicholas Holt, Direktur Riset Knight Frank buat loka Asia Pacific dalam laporan yg dirilis Juni kemudian itu.

Namun, kenaikan harga properti pada Indonesia itu, memproduksi khawatir Bank Indonesia (BI). Apalagi, kenaikan harga properti itu terjadi seiring beserta kenaikan nilai kucuran kredit perbankan ke sektor properti.

BI mencatat, Januari 2012, kredit pemilikan tempat tinggal (KPR) yg dicairkan perbankan mencapai Rp 188,228 triliun atau naik 33,1% dibandingkan Januari 2011 yg baru mencapai Rp 141,408 triliun.

"Pertumbuhan KPR yg tinggi mendorong kenaikan harga properti yg tidak mencerminkan harga sebenarnya (bubble), sehingga dapat menaikkan risiko kredit bagi bank," terperinci Surat Edaran BI yg diteken sang Muliaman D Hadad, selaku Deputi Gubernur BI itu.

Dengan alasan itulah, BI merilis beleid anyar terkait beserta Loan To Value (LTV) buat KPR dan buat kredit kepemilikan apartemen (KPA). BI membatasi uang muka kredit KPR dari semula 20% menjadi 30%.

"Kredit yg dapat diberikan Bank ditetapkan aporisma 70% buat KPR," kata Dody Budi Waluyo, Direktur Direktorat Perencanaan Strategis dan Hubungan Masyarakat BI.

Selain faktor bubble properti, BI berusaha mengurangi risiko perbankan dari kredit macet KPR atau KPA. Tersulut faktor mayapada Sektor properti pantas menjadi perhatian spesifik bagi poly negara, tak terkecuali Indonesia. Apalagi, sektor properti itu sempat mendatangkan perkara bagi poly negara, termasuk negara Adi Daya pada Amerika Serikat (AS) yg sempat diguncang Subprime Mortgage tahun 2007 silam.

Agar sektor properti itu tak menjadi sumber perkara, poly negara mulai mengatur siasat mengintervensi pasar sektor properti. Knight Frank mencatat, pada Asia Pasifik, tercatat terdapat 3 negara yg melakukan hegemoni tadi, yakni Malaysia, Taiwan dan Singapura.

"Adanya restriksi kredit, pengenaan pajak tambahan dan perlindungan aset properti dari investor asing menjadikan penjualan tempat tinggal turun pada Malaysia, Taiwan dan Singapura," terang Holt dalam hasil risetnya.

Singapura contohnya, kini berusaha keras membatasi kepemilikan properti spesifik bagi warga negara asing. Caranya beserta membebankan pajak berlipat, apalagi bagi Knda yg berinvestasi properti pada negara itu hanya buat jangka pendek.

Holt menyimpulkan, langkah beberapa negara pada Asia itu bertujuan buat mengantisipasi dari efek domino dari melemahnya kinerja perdagangan mayapada. Barangkali, faktor mayapada ini turut mendasari BI membatasi penyaluran kredit buat KPR dan KPA.

Namun demikian, BI menyimpulkan, revisi beleid uang muka kredit bertujuan mengurangi risiko perbankan dari kredit macet. Aturan yg efektif mulai 15 Juni itu dibutuhkan sanggup menekan anugerahkredit buat properti.

"Aturan ini buat kehati-hatian bank memberikan KPR buat memperkuat ketahanan sektor keuangan," kata Direktur Eksekutif Departemen Perencanaan Strategis dan Hubungan Masyarakat BI Dody Budi Waluyo.

Kelas menengah wajib bersabar

Dari kacamata berkualitas di optik tunggal BI, aturan uang muka kredit KPR dan KPA itu hanya ampuh menekan pengucuran kredit properti buat ad interim waktu. Aturan itu dinilai tak bisa membendung kucuran kredit KPR atau KPA perbankan terlalu usang.

"Permintaan akan terhambat ad interim, hingga ekuilibrium baru terdapat dan konsumen yg ingin mengajukan KPR atau KKB bisa memenuhi uang muka," terang Kepala Biro Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan BI, Filianingsih.

Berdasarkan simulasi BI, kenaikan uang muka KPR dari 20% menjadi 30% tadi sanggup menahan nasabah mengajukan KPR selama 7 hingga 8 bulan. Selama itulah, nasabah menabung hingga uang mereka bisa mencukupi buat uang muka. Namun, pelaku usaha tak yakin sepenuhnya beserta simulasi BI itu.

Rudy Margono, Ketua Dewan Pengurus Daerah (DPD) Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (REI) Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta menilai, kenaikan uang muka KPR hanya menahan pengajuan KPR paling usang enam bulan.

"Yang terkena implikasi artinya kelas menengah, lantaran kelas menengah, yg poly membeli tempat tinggal beserta KPR, terutama tempat tinggal pada bawah harga Rp 1 miliar," kata Rudy.

Sementara itu, konsumen kelas atas sama sekali tak terpengaruh dari kebijakan pemerintah tadi, lantaran mereka kebanyakan membeli unit secara tunai sedikit demi sedikit.

Prediksi Rudy itu diakui manajemen PT Pakuwon Jati Tbk (PWON), selaku pengembang properti kelas premium yg kini sedang menggarap superblok Tunjungan City pada Surabaya.

"Kami menyasar kalangan middle up, dan mereka tak keberatan ditetapkannya aturan uang muka itu," kata Irene Tedja Murdaya, Direktur sekaligus Investor Relation PWON.

Prediksi pengusaha properti itu diperkuat riset dari Knight Frank yg mengungkapkan, sektor properti Indonesia tetap tumbuh walaupun kebijakan uang muka BI itu berlaku. Namun begitu, forum riset properti asal Inggris ini mengakui adanya penurunan kebijakan itu buat ad interim waktu buat sektor properti menengah ke bawah.

Hampir senada pula disampaikan sang konsultan properti Wushman & Wakefield. Konsultan properti asal Amerika Serikat itu memprediksi, aturan uang muka KPR sebanyak 30% itu akan menahan penjualan properti hingga 3 bulan. Selama itulah, penjualan properti turun signifikan.

"Tahun kemudian naik signifikan, lantaran aturan ini, turunnya bisa signifikan," papar Head of Research and Advisory Cushman & Wakefield Arief Rahardjo.

Arief putusan bulat, aturan uang muka baru dari BI itu akan terasa bagi kelas menengah yg membeli properti pada bawah harga Rp 500 juta.

"Jualan tempat tinggal pada atas Rp 500 juta atau jualan apartemen, sepertinya tidak akan terkena implikasi minimal uang muka itu, lantaran pada level itu biasanya tawaran dari pengembang buat uang mukanya memang sudah kurang lebih 25-30% atau metode pembelian lunas," terperinci Arief.

Pasar properti sekunder ikut goyang

Kenaikan uang muka kredit KPR dari BI ternyata bisa disiasati pengembang properti beserta cara mencicil uang muka kredit. Pola ini terbilang cara lawas, tetapi agak efektif buat menyiasati kenaikan uang muka kredit KPR tadi. Maka itu, poly pengembang properti tak ambil pusing beserta kebijakan BI itu.

Namun, pada pasar properti sekunder alias properti seken logika-akalan ini tidak bisa dijalankan. General Manager (GM) broker properti Century 21 F Rach Suherman bilang, penjualan properti sekunder tidak mempunyai jalan keluar lain, selain menaati aturan BI tadi. Namun begitu, Suherman yakin, penurunan penjualan properti sekunder itu hanya akan berlangsung sesaat.

"Setelah itu akan biasa lagi, akan menuju titik ekuilibrium baru," terangnya.

Walaupun pasar properti sekunder bergoyang, akan tetapi secara generik, kebijakan BI itu tidak memproduksi pasar properti sekunder kaget alias terpukul. Sebab, selama ini, kreditur properti sekunder poly yg menerapkan aturan uang muka kredit KPR sebanyak 30% dari nilai aset. Apalagi, kata Suherman, konsumen properti sekunder tak poly yg membeli properti beserta cara menggunakan KPR.

"Paling-paling hanya 10% yg menggunakan KPR," ujar Suherman.

Menurutnya, konsumen, lebih poly menggunakan tunai keras dan tunai sedikit demi sedikit. Senada beserta Suherman, Nurul Yaqqin, Direktur broker properti Ben Hokk Property pula beropini sama. Menurutnya, uang muka BI hanya mengganggu pertumbuhan penjualan properti sekunder dalam jangka pendek. (Asnil Bambani Amri/Adisti Dini Indreswari/Melati Amaya Dor)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Back to Top