Minggu, 28 Januari 2018

Kisah Mundri Si Pemulas Dulang

Kisah Mundri Si Pemulas Dulang

Dulang umumnya terbuat dari besi atau kayu, diberi cekungan sedalam lima melimeter, sehingga sanggup digunakan buat menyaring secara halus emas atau intan. Caranya dengan memutar berulang kali kearah berlawanan dengan datangnya angin sehingga air akan terbuang menyisakan remahan atau serpihan emas serta intan.

Tapi kepada Bali dulang tidak digunakan buat menyaring emas berlian, dulang kepada sini terbuat dari kayu. Zaman dulu dia diberi tangkai dari kayu, kegunaannya buat pegangan tatkala dulang dijunjung dalam bepergian jauh. Diatas dulang yang ditatah dengan tangan sedalam 1 sentimeter diletakkan rangkaian butir, namanya gebogan.

"Sekarang dulang jenis itu hanya dimanfaatkan buat membentuk hidangan kepada pekarangan atau kepada balai keluarga, buat gebogan didesain dulang bersusun," kata Mundri (68),seorang pemulas dulang dari Bresela Tegallalang, Bali. Kampung berketinggian 600 meter diatas permukaan laut ini sejak zaman dulu memang terkenal sebagai pusat kerajinan kayu. Mulai dari patung petani mengikat padi, nelayan menjala ikan, hingga penjudi yang menjemba ayam dalam sangkar semuanya berasal dari Bresela.

Namun kejayaan patung yang menggambarkan kehidupan rakyat tradisional itu sekarang sudah punah. Pematung kepada Bresela hanya membentuk patung yang pantas buat dijadikan cenderamata misalnya ikan, kucing, butir tanpa kehadiran manusia didalamnya. Patung itu permanen didesain dari kayu albasia yang ringan, berserat kasar, serta gampang kepada pahat.

Tapi Mundri sekeluarga tidak tertarik membentuk kerajinan eksport atau yang mengarah kepada urusan art shop serta cargo.

"Ayah aku produsen dulang sejak zaman dulang masih diberi pegangan, sekarang membentuk dulang bersusun," ungkap nenek 3 cucu ini. Suaminya bertugas membubut kayu ukuran lingkar 14 inchi, membentuknya sebagai dulang ukuran 12 inchi sebagai dasarnya, lalu 10 inchi bagian tengah serta paling atas ukuran 8 inchi.

Dengan dengan mesin cabut membentuk dulang bersusun sebagai praktis. Tidak perlu pahat atau gergaji serta kampak misalnya zaman dulu.

"Hanya membentuk tabrakan yang perlu sentuhan pahat, suami aku spesifik membentuk tabrakan yang muncul unsur bunga, muncul juga ikan serta buahnya," tambah Mundri.

Dulang berukir itu sebenarnya sudah indah jikalau dimanfaatkan buat dijadikan alas gebogan, akan namun kepada Bresela muncul semacam penemuan dilakukan.

"Sejak lima tahun lampau tabrakan dulang diberi pulasan cat supaya lebih indah, dasarnya berwarna merah, kami menyebutnya dengan barak," kata Mundri lagi.

Memberi pulasan  barak umumnya dilakukan oleh perajin pria, sebab perlu memulas sekujur dulang dengan kuas ukuran 3 inchi.

"Memulas bagian yang lebih rumit, yakni tabrakan bunga serta sarinya barulah diserahkan kepada aku," pungkasnya. Tangannya dengan cekatan memoleskan rona kuning ke kelopak bunga dengan kuas ukuran mini. Satu dulang dengan bundar 8 inchi diselesaikan dalam saat lima menit hanya dengan sekali mencelupkan kuas.

Yang rumit adalah memberi rona biru kepada putik kembang yang kadang dalam bentuk mawar ataupun teratai. Walaupun tidak dibantu kacamata berkualitas di optik tunggal plus, Mundri dengan cekatan memulas bagian  putik itu sepenuh hati.

"Sudah terbiasa sebab lebih dari sepuluh tahun melakukannya setiap hari," ujarnya.

Setiap hari tidak kurang dari 25 dulang bersusun sanggup dirampungkan pengecatan bagian bunga serta putiknya. Setelah dikeringkan, akan muncul pengepul yang membantu menjualnya kepada kawasan spesifik yang dikenal sebagai dengan toko yadnya.

Disana dijual selain dulang muncul juga aneka kain, tirai, hingga bokoran serta saab, semuanya dengan rona yang memikat. Dulang bersusun ukuran sedang dijual dengan harga Rp 25.000 ukuran terkecil Rp 15.000. Mundri sendiri dengan kepiawaiannya mengecat kembang diatas dulang sanggup mendapatkan tidak kurang dari Rp 90.000 dalam seharinya. Hasil yang menurutnya cukup buat menopang kehidupannya yang tidak lagi menanggung biaya sekolah anak sebab semuanya sudah mentas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Back to Top